Pertanyaannya, seberapa besar persoalan sekitar penerbitan dua karya sejarah itu memiliki arti bagi pemahaman sejarah bangsa generasi muda dan siswa di sekolah hari ini?
Sejarah PKI dan posisi Sukarno dalam tragedi Gerakan 30 September (G30S) di tahun 1965-66 merupakan persoalan rumit. Tak ada ujung penjelasan yang bisa memuaskan semua orang, terutama generasi yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Tentu saja, masalah utama yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah kejujuran sejarah. Namun selama 40 tahun sejarah yang diajarkan kepada anak bangsa tak lebih sebuah rekayasa dan bernilai ideologis.
Kurikulum kompetensi vs kurikulum ideologis
Menurut Michael W. Apple, kurikulum adalah upaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat atau negara. Pewarisan nilai dan pemahaman masa lalu menjadi artikulasi apa yang mesti dipelajari dan dipahami oleh generasi pelanjut. Ada agenda dari negara dan para birokrat untuk melindungi identitas kebangsaan warga negaranya lewat pencapaian ideologis. Karena itu Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1962) memunculkan dua paradigma ilmu; yang bebas nilai (value free) dan yang memiliki nilai-nilai ideologis.
Selama Orde Baru pendidikan sejarah merupakan alat kontrol negara atas pewarisan nilai dan pengetahuan kesejarahan bangsa terhadap warganya. Tak mengherankan buku-buku sejarah yang dipakai di sekolah-sekolah atau terbit untuk konsumsi umum mendapat seleksi ketat. Akibatnya, masyarakat mengakumulasi pengetahuan sejarah berdasar kepentingan penguasa, terutama menyangkut apa yang disebut “kontroversi sejarah”.
Ada tiga kontroversi sejarah dalam buku pendidikan sejarah kita. Pertama, siapakah penggagas ide Serangan Umum 1 Maret dengan segala akibatnya; apakah Suharto atau Hamengkubuwono IX. Kedua, siapakah dalang G30S; apakah PKI, Sukarno, Suharto, atau konflik internal Angkatan Darat. Ketiga, apakah surat perintah pengalihan kekuasaan atau yang kita kenal Supersemar, dari Sukarno ke Suharto benar-benar ada, jika sampai hari ini yang sampai ke tangan kita bersifat salinan.
Di antara ketiganya, kontroversi G30S adalah yang paling rumit dan sensitif. Bagi para korban pasca G30S, kontroversi itu menyangkut hak hidup dan rehabilitasi nama baik. Bagi masyarakat Muslim, misalnya, kontroversi itu berkait PKI yang memiliki sejarah panjang dengan umat Islam di Indonesia. Namun bagi generasi kini, kontroversi itu menyangkut kejujuran sejarah.
Di era keterbukaan ini, masyarakat terutama generasi muda berhak mengetahui sejarah bangsanya secara benar dan jujur. Penarikan buku sejarah kurikulum 2004 yang tak lagi mencantumkan istilah G30S/PKI di sekolah dan pencekalan karya Prof. Antonie C.A Dake yang menyebutkan keterlibatan Sukarno dalam gerakan itu oleh Kejaksaan Agung, jelas membingungkan para siswa, guru dan masyarakat umum. Sebagai sebuah karya tulis, kebenaran sejarah di dalamnya tidaklah absolut. Justru ia bisa memperkaya pemahaman kesejarahan anak bangsa dan siswa di sekolah.
Dalam konteks kompetensi bagi siswa di sekolah, kejujuran sejarah tak kalah pentingnya dengan pengajaran life skill atau ilmu terapan yang kini masuk dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), tahun 2006. Kegagalan para pemimpin dan rusaknya moral bangsa ini salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan mengarifi sejarah dan kebohongan yang ditanamkan dalam pendidikan sejarah kita. Di sinilah kita perlu menulis dan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah tanpa perlu ditutupi, sambil menjelaskan adanya berbagai interpretasi terhadap peristiwa itu. Untuk itu, kita perlu mencontoh bagaimana pendidikan sejarah dipelajari oleh siswa di Afrika Selatan, AS, dan negara lain yang tak menutupi kekejian yang dilakukan nenek moyang mereka dalam masalah perbudakan.
Karenanya, sikap rekonsiliasi atau moderat para korban dan pelaku dalam peristiwa G30S mempunyai tujuan yang amat mulia untuk menyemai kebersamaan dan kejujuran sosial bagi anak bangsa. Tentu saja, yang mesti dilakukan dan diperjuangkan terus-menerus adalah keberanian menerima kejelekan masa lalu kita sebagai dasar sebuah kejujuran sejarah.
Sejarah Jujur
Dalam konteks sejarah bangsa, berbagai cerita mengenai kepahlawanan beriringan dengan kisah-kisah tragedi dan kemunafikan. Di sinilah arti penting makna sejarah sebagai peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan mitos sebagai hal yang diada-adakan (kebohongan sejarah). Khazanah masa lalu itu adalah kekayaan dan realitas yang diwariskan para pendahulu kita sebagai modal sejarah untuk menguatkan kebersamaan, sekaligus merefleksikan wajah keindonesiaan kita.
Dalam periode yang cukup panjang, anak bangsa ini hidup dalam pemahaman kesejarahan yang hitam-putih berdasar kepentingan kekuasaan. Karena itu, sejarah jujur adalah penceritaan masa lalu yang apa adanya, tak ada rasa malu, dan menerima baik-buruk para pelaku sejarah kita tanpa perlu ditutupi atau dikultuskan. Apalagi kejujuran adalah sifat langka di antara para pemimpin kita hari ini, maka sudah saatnya generasi muda bangsa ini belajar jujur dari sejarahnya yang kelam.
Dari opini anda saya menarik kesimpulan, bahwa sejarah tidak selalu benar, sejarah tidak selalu jujur, pasti ada intrik, dan dalang di belakang layar. Ketika saya masih duduk di bangku SMA kita selalu monoton dengan teks-teks, buku sejarah, bahwa apa yang di jamah di dalam buku itu adalah kebenaran, dan ketika saya berada di comunitas mahasiswa saya terkejut ketika apa yang pernah di pelajari di SMA tidak selalu benar, saya merasakan keracauan ketika peralihan antara SMA dengan Universitas.
Tidakkah anda merasa keracauan adalah pembodohan?
memang untuk tujuan apa pun kebohongan itu dilarang, tetapi kita mungkin masih ingat kisah di masa nabi Muhammad seorang yang dikejar sendak dibunuh, bersamaan dengan itu juga nabi melihat ke mana arah orang itu pergi. tetapi di waktu si pengejar yang menbawa senjata bertanya, kemanakah orang tersebut pergi, sebelum menjawab nabi menindahkan kaki untuk beranjak, lalu menjawab selama aku di sini aku tak melihat seorang pun lewat.
mungkin dari pengalaman tersebut kita bisa melihat bahwa untuk satu atau hal yang menyangkut nyawa (baca : keutuhan bangsa) tak apa fakta di tutup-tutupi selagi bangkainya tidak di temukan.
assalamu’alaikum,
Da Yudhi.. waaah, saya nyasar ke sini nih.. tulisannya bagus2,, keren,, pengen bisa nulis kayak begini.
cuma serasa ‘berat’ semua.. jadi dibacanya agak perlu penghayatan… saya angsur2 aja deh bacanya..
sukses terus ya…
**numpang komen di postingan ini.
Masa kini adalah kenyataan, masa depan adalah harapan dan masa lalu adalah sejarah dimana sejarah itu tidak akan mungkin terulang, kita hanya bisa mendengar, membaca dari orang2 yg mengalami.. semoga sejarah Indonesia yg sebenarnya bisa segera terungkap untuk apa membohongi sejarah. kecuali ada kepentingan tertentu. http://www.endangharyanti.wordpress.com